7.Guntur yang menggelegar
—
Bab: Arus yang Mulai Bergerak
Siang itu, Sayidan masih tenang. Kali Code mengalir perlahan di bawah sinar matahari terik. Orang-orang mulai membuka warung, anak-anak mulai main layangan di tepi sungai. Semuanya tampak biasa.
Tapi bagi Guntur, hari itu tidak biasa.
Langkah kakinya terasa berat, seperti ada sesuatu yang ikut melangkah di dalam dirinya.
Di dalam batinnya, suara Petrawala masih bergetar pelan.
Petrawala (dalam batin):
“Kau pikir dunia berubah karena niat baik? Tidak. Dunia berubah karena kekuatan. Dan sekarang, kau punya itu.”
Guntur mendengus. Ia belum mau memakai kekuatan itu.
Masih terlalu awal. Masih terlalu… asing.
Tapi tiba-tiba, seseorang berlari tergesa.
“Pakde Sastro! Rumahnya kebakaran! Katanya korsleting listrik!”
Langkah Guntur terhenti. Dadanya bergetar pelan. Ia tahu, listrik di rumah Pakde Sastro semalam sudah ia periksa baik-baik. Semua aman. Ini bukan kesalahan teknis.
Petrawala:
“Lihat? Bahkan kebenaranmu bisa diputar jadi kesalahan. Dunia tidak peduli.”
Guntur mengepalkan tangan, tapi ia hanya diam.
Belum saatnya bicara apa-apa.
—
Di Tempat Lain: Arno dan Aini
Arno dan Aini sedang berjalan di Terban, memeriksa laporan warga soal listrik padam semalam. Bagi Aini, ini tugas biasa.
Tapi Arno tiba-tiba berhenti. Matanya menatap kosong ke arah selatan.
Aini meliriknya. “Kenapa, No? Pusing?”
Arno menghela napas, mencoba menenangkan dadanya yang mendadak sesak.
Di batinnya, suara Svarnavarna terdengar jelas.
Svarnavarna:
“Kau merasakannya? Dia sedang bergerak. Energi itu… milik seseorang yang baru sadar kekuatannya.”
Arno bergumam pelan, “Sayidan…”
Aini mengernyit. “Sayidan kenapa? Kita nggak ke sana hari ini.”
Arno hanya menggeleng. “Nggak apa-apa, lanjut jalan aja. Aku cuma keinget sesuatu.”
Aini mendesah. “Kamu tuh akhir-akhir ini aneh. Kadang diem, kadang ngomong sendiri. Kalo capek bilang, jangan dipendem.”
Arno memaksakan senyum tipis. “Iya, maaf.”
Padahal di dalam batinnya, Svarnavarna masih bicara:
Svarnavarna:
“Jika kau diam saja, dia akan tumbuh sendirian. Dan dunia ini… akan retak pelan-pelan.”
—
Kembali ke Guntur
Di depan rumah Pakde Sastro, api sudah hampir padam. Warga bergotong-royong memadamkan api dengan ember seadanya. Tapi mata-mata curiga mulai mengarah ke Guntur.
“Ini pasti gara-gara kamu, Tur! Semalam kamu yang pasang colokan, kan?”
“Colokan baru malah kebakar!”
Guntur berdiri diam. Biasanya ia akan membela diri, menjelaskan detail kabel dan saklar yang ia pasang. Tapi hari ini, ia hanya diam.
Petrawala:
“Apa gunanya membela diri di hadapan orang yang sudah memutuskan untuk menyalahkanmu?”
Guntur hanya memalingkan wajah. Ia berjalan pergi, membiarkan tuduhan-tuduhan itu menggantung di udara.
Langkahnya berat. Tapi kali ini, bukan karena lelah.
Melainkan karena ia tahu: dunia tidak akan pernah memihak orang seperti dirinya.
—
Di Balik Semua Itu
Langit Jogja tetap cerah, tapi Arno masih menatap jauh ke selatan. Ia belum tahu pasti apa yang sedang terjadi.
Aini menepuk pundaknya pelan. “Yuk, jalan lagi.”
Arno hanya mengangguk, menyembunyikan kegelisahannya.
Karena jauh di batinnya, Svarnavarna berbisik:
Svarnavarna:
“Kau tak bisa terus pura-pura buta. Yang kau cari… sedang berjalan di kotamu sendiri.”
—
Bab: Murka yang Tidak Dicari
Guntur berjalan menyusuri gang sempit, meninggalkan suara-suara yang menggugat di belakangnya. Tubuhnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai bergerak liar.
Petrawala berbicara dalam benaknya, suaranya dingin namun penuh dorongan halus.
“Kau tahan dirimu, tapi sampai kapan? Mereka sudah memutuskan kau bersalah, bahkan sebelum kau bicara.”
Guntur mengepalkan tangan. Ia tahu Petrawala benar. Tidak ada kata maaf, tidak ada pembelaan. Hanya tuduhan yang menggantung di udara, menunggu untuk dijatuhkan ke pundaknya.
Ia sampai di sebuah lapangan kosong di tepi Kali Code. Hanya ada tiang listrik tua yang berdiri miring, kabel-kabelnya bergetar pelan diterpa angin.
Petrawala berbicara lagi, tenang, seperti menuntun.
“Cobalah. Hanya sekali. Biar dunia tahu rasanya dihantam arus yang tidak bisa mereka kendalikan.”
Guntur mengangkat tangan. Dari ujung jemarinya, kilatan hitam mulai muncul. Dingin, tajam, seperti bayangan yang mengalir.
Ia mengarahkan tangannya ke tiang listrik tua itu.
Kilatan hitam melesat cepat, menghantam tiang itu. Bukan sekadar meledak, tapi seolah-olah energi di dalam logamnya tersedot, lalu runtuh dari dalam.
Tiang itu roboh perlahan, seperti menyerah pada sesuatu yang tak terlihat.
Guntur terdiam. Napasnya berat. Dadanya seperti dihantam arus yang tak habis-habis.
Petrawala masih berbicara, lebih pelan sekarang.
“Begitu mudah, bukan? Dunia rapuh. Kau hanya perlu menyentuhnya sedikit.”
Tapi Guntur masih bergulat dengan dirinya sendiri. Ia tidak ingin jadi perusak. Tapi ia juga tahu… kekuatan ini tidak bisa ia simpan selamanya.
—
Di Tempat Lain: Arno Merasakan Dentuman
Jauh di Terban, Arno berhenti lagi. Dadanya terasa bergetar, bukan oleh suara, tapi oleh sesuatu yang lebih dalam.
Svarnavarna berbicara pelan.
“Ia mulai bergerak. Itu bukan sekadar amarah, itu adalah luka yang mencari jalan keluar.”
Arno menatap kosong ke arah selatan.
“Apa aku harus menghentikannya?”
Svarnavarna diam sejenak sebelum menjawab.
“Kau tidak bisa menghentikan apa yang belum kau mengerti. Tapi kau bisa memilih apakah akan membiarkannya sendiri.”
Aini, yang berjalan beberapa langkah di depan, menoleh dengan bingung.
“Arno, kamu kenapa sih? Kayak orang denger sesuatu.”
Arno tersenyum tipis, menutupi kegelisahannya.
“Enggak, cuma capek aja.”
Dalam hatinya, ia tahu itu bohong. Capek tidak membuat udara bergetar seperti ini. Hanya sesuatu yang lebih besar… yang bisa melakukannya.
—
Kembali ke Guntur
Guntur menurunkan tangannya. Tiang itu kini rebah di tanah, kabel-kabelnya terlepas, dan udara di sekitarnya terasa lebih dingin.
Tapi ia tidak puas. Bukan kepuasan yang ia cari. Hanya kelegaan yang belum utuh.
Petrawala berbicara lagi, lembut namun tajam.
“Kau belum selesai. Masih banyak yang perlu kau ubah. Dunia ini tidak akan adil kalau kau hanya berdiri diam.”
Guntur menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa kecil. Tapi juga tidak merasa utuh.
Karena kini ia bukan hanya Guntur. Ia adalah wadah untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
—
Bab: Api yang Membakar Diam-Diam
Langkah Guntur meninggalkan lapangan kosong itu belum jauh ketika suara teriakan terdengar dari arah gang.
“Eh, itu Guntur! Dia di sana!”
Beberapa warga yang tadi sibuk memadamkan api di rumah Pakde Sastro kini bergerak mendekat. Wajah mereka tak lagi sekadar cemas-ada kecurigaan yang tumbuh liar, seperti api yang belum sepenuhnya padam.
“Jangan-jangan dia sengaja bikin korsleting!”
“Biar kerjaannya laku terus!”
“Atau… mungkin dia ada main sama hal-hal nggak beres!”
Guntur berdiri diam. Matanya menatap satu per satu wajah yang dulu ia bantu tanpa pamrih. Orang-orang yang rumahnya ia betulkan tanpa dibayar penuh, yang colokannya ia perbaiki tanpa pernah mengeluh. Hari ini, semua jasa itu hilang begitu saja.
Petrawala berbicara perlahan di benaknya.
“Kau lihat? Bahkan mereka yang kau selamatkan pun akan melupakanmu ketika ada masalah. Kau masih mau diam?”
Guntur menarik napas panjang. Suara di luar semakin keras.
“Guntur! Jawab, kamu yang bikin listrik-listrik ini rusak kan?!”
“Apa yang kamu lakukan semalam di rumah Pakde?!”
Sorot mata mereka tajam, seperti pisau-pisau kecil yang menusuk dadanya.
Guntur mengeraskan rahangnya, menahan amarah yang perlahan memanas dalam dada. Tapi ia masih menahan diri. Ia tahu, sekali ia melepaskan kekuatannya, tidak akan ada jalan kembali.
“Aku cuma benerin kabel. Kalau ada yang rusak lagi, itu bukan salahku.”
Suara Guntur tenang, tapi dingin. Jauh lebih dingin daripada biasanya.
Namun kata-katanya hanya dianggap alasan.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?!”
“Listrik normal-normal aja sebelum kamu datang!”
Petrawala membisik pelan, nyaris seperti senyuman tipis di telinganya.
“Mereka tidak butuh kebenaranmu. Mereka hanya butuh seseorang untuk dikambinghitamkan.”
Guntur menatap kosong ke arah orang-orang itu. Dadanya bergetar, jemarinya mulai terasa dingin, seolah-olah arus hitam itu meminta dilepaskan.
Tapi di saat itu, ia menahan diri. Ia berbalik, berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Beberapa orang masih meneriakinya dari belakang. Tapi ia tidak peduli.
Langkahnya berat, tapi lebih berat lagi pilihan yang kini ia pikul: menjadi monster di mata orang banyak, atau tetap jadi manusia yang diinjak-injak.
Petrawala bergumam tenang.
“Pergilah. Kita belum selesai. Dunia ini masih panjang jalannya.”
—
Sementara Itu, Di Kejauhan
Di Terban, Arno kembali merasakan getaran samar. Ia menatap jauh ke arah Sayidan, merasa langkah waktu semakin mendesak.
Svarnavarna berbicara lirih.
“Dia hampir kehilangan pegangannya. Jika kau tak segera menemuinya, kota ini akan mengenal malam yang lebih gelap dari listrik padam.”
—
Bab: Retak yang Tak Bisa Ditambal
Langkah Guntur semakin berat, napasnya memburu. Suara teriakan warga perlahan menjauh, tapi gema amarah mereka masih membekas di telinganya.
Petrawala berbicara pelan, namun kali ini suaranya lebih menusuk.
“Percuma kau menjauh. Mereka tetap akan mencari-cari salahmu. Kau pikir pergi bisa meredakan luka ini?”
Guntur berhenti di bawah jembatan Code. Air sungai mengalir deras, seolah ikut membawa semua kekesalan yang menumpuk di dadanya. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, berusaha menahan sesuatu yang bergetar liar dalam dirinya.
Tapi Petrawala tidak diam.
“Lepaskan saja, Guntur. Dunia ini tidak layak kau tahan-tahan. Biarkan mereka tahu rasa sakitmu.”
Guntur mengerang pelan. Tubuhnya mulai gemetar, seperti menahan badai di dalam rongga dadanya. Jemarinya bergetar, udara di sekitarnya mulai terasa dingin, aneh, seperti sebelum hujan petir datang.
Dan saat itu, sesuatu di dalam dirinya pecah.
Ia menengadah, dan dari kedua tangannya, kilatan hitam melesat liar ke langit. Bukan lagi sekadar semburan listrik biasa, tapi arus liar yang memecahkan udara, memecah keheningan malam.
Tiang-tiang listrik di sepanjang jalan Sayidan bergetar. Lampu-lampu jalan mulai berkedip tak menentu. Kabel-kabel menggeliat seperti makhluk hidup yang ketakutan.
Petrawala tertawa dalam benaknya, puas.
“Begitu… begitulah seharusnya. Dunia tunduk pada kekuatan. Bukan belas kasihan.”
Guntur berlutut, dadanya sesak, tapi entah kenapa, ada rasa lega yang pelan-pelan tumbuh. Rasa kosong… tapi bebas.
Namun matanya mulai menyadari sesuatu: suara mesin-mesin di rumah warga mati mendadak. Radio-radio padam. Lampu-lampu rumah meredup satu per satu.
Dari kejauhan, suara orang-orang berteriak panik mulai terdengar.
“Apa yang terjadi?!”
“Listriknya padam lagi!”
“Ada apa ini?!”
Guntur terpaku. Ia baru sadar, amarahnya tidak hanya mengenai tiang tua. Seluruh kampung terkena imbasnya.
Petrawala berbicara tenang, nyaris seperti membisikkan kebenaran pahit.
“Inilah kekuatanmu. Tak pernah bisa memilih siapa yang kena, siapa yang selamat.”
Tubuh Guntur gemetar. Untuk pertama kalinya sejak pertemuannya dengan Petrawala, ia merasa takut pada dirinya sendiri.
—
Di Waktu yang Sama: Arno Merasakan Dentuman Kedua
Arno berhenti mendadak. Kali ini, ia benar-benar merasakan dentuman besar. Bukan di tanah, tapi di udara, seolah-olah energi liar baru saja dilepaskan begitu saja.
Svarnavarna bicara cepat.
“Dia mulai kehilangan kendali. Kau harus pergi ke sana sekarang sebelum semuanya terlambat.”
Arno menatap ke arah Sayidan, lalu ke arah Aini yang masih belum tahu apa-apa.
Keputusan harus dibuat. Sekarang.
—
Bab: Kejatuhan yang Ia Pilih Sendiri
Guntur masih berlutut di bawah jembatan itu, napasnya tersengal, tubuhnya menggigil bukan karena dingin malam, tapi karena gelombang kekuatan yang mengalir tanpa kendali.
Di dalam dirinya, Petrawala berbicara lebih dalam, lebih lembut, seperti bisikan yang sulit dibedakan antara racun dan pelipur lara.
“Rasakan… ini dirimu yang sebenarnya. Kau sudah terlalu lama menutupi lukamu dengan kesabaran. Hari ini, kau bebas.”
Guntur menutup matanya. Ia ingin menolak, tapi hatinya tahu… kata-kata itu benar. Berapa lama ia menahan amarahnya? Berapa lama ia memendam kecewa setiap kali orang-orang memperlakukannya seperti alat, bukan manusia?
Kilasan demi kilasan masa lalu muncul dalam pikirannya:
Wajah Pakde Sastro yang membentaknya meski sudah dibantu.
Anak-anak kampung yang menertawakan bajunya yang lusuh.
Ibu-ibu yang bisik-bisik di pasar menyebutnya tukang listrik miskin.
Semua itu menumpuk, memadat, lalu retak.
Petrawala berbisik lebih pelan, namun menusuk:
“Siapa yang peduli pada hatimu yang baik? Siapa yang mengingat kerja kerasmu? Tak ada. Karena dunia hanya mendengar suara yang paling keras… dan kau belum pernah bersuara.”
Kilatan hitam di tubuh Guntur mulai menyelimuti pundaknya, melingkari dadanya seperti armor tipis dari bayangan. Ujung matanya mulai berpendar redup, dingin dan kelam.
Guntur membuka mata perlahan. Tatapannya kosong, seperti kehilangan sesuatu yang dulu ia pegang erat.
“Aku lelah.”
Suara itu nyaris tak terdengar, hanya bisikan kecil yang akhirnya keluar setelah sekian lama tertahan.
Petrawala menjawab tenang.
“Kalau begitu, berhentilah bertahan. Biarkan mereka yang merasakan bebanmu sekarang.”
Dan saat itu, Guntur berdiri. Tubuhnya tegak, tapi bukan lagi dengan semangat seorang pemuda kampung biasa. Ada sesuatu yang berbeda. Lebih dingin. Lebih sunyi.
Ia melangkah pelan, meninggalkan sungai yang gelap dan sunyi, menuju kampung yang lampu-lampunya sudah mati.
Langkahnya tak terburu-buru, tapi udara di sekelilingnya mulai bergetar pelan, seperti listrik yang menunggu dilepaskan lagi.
Di benaknya, hanya satu suara yang tersisa.
“Kalau dunia tak ingin mendengarkanmu dengan kata-kata, biarkan mereka mendengarmu dengan kekuatan.”
Dan sebentar lagi malam di Jogja yang tenang itu perlahan mulai berubah.
—
Bab: Tubuh Bayangan, Jiwa yang Terbakar
Di jalanan kecil Sayidan yang mulai gelap, udara tiba-tiba berubah tegang. Daun-daun trembesi di pinggir jalan bergetar pelan, seperti merasakan sesuatu yang tak terlihat mendekat.
Langkah Guntur terdengar pelan tapi mantap, menyusuri jalan kampung yang mulai sunyi. Orang-orang bersembunyi di balik jendela, hanya menyisakan bayang-bayang di balik tirai kain tipis.
Petrawala berbicara lembut namun menusuk dalam benaknya.
“Lepaskan saja semua. Ini bukan lagi tentang membela diri. Ini tentang menunjukkan siapa kau sebenarnya.”
Dan saat itu, sesuatu dalam tubuh Guntur meledak.
Dari kulitnya, bayangan hitam mulai menjalar, seperti asap pekat bercampur kilatan listrik gelap yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bukan seperti baju besi biasa-lebih seperti energi liar yang membentuk dirinya menjadi sesuatu yang baru.
Wajahnya sebagian tertutup lapisan tipis bayangan, hanya menyisakan mata yang kini berkilat seperti arus pendek dalam malam. Tangannya dilapisi aliran listrik hitam yang terus bergerak, berdesir liar seperti makhluk hidup yang belum jinak.
Udara di sekitarnya bergetar, tiang-tiang listrik di sepanjang jalan itu ikut berdesing pelan, seolah-olah takut disentuh olehnya.
Langkahnya terhenti di tengah jalan kampung.
Ia menatap ke depan, ke arah rumah-rumah yang selama ini ia selamatkan.
Tempat-tempat yang dulu ia lindungi dengan kerja keras dan sabar.
Namun kini, di matanya, semua itu terlihat sama: tempat yang menelannya hidup-hidup tanpa pernah memberi tempat untuknya tumbuh.
Petrawala bicara pelan, seperti menegaskan keputusan terakhirnya.
“Kau bukan bagian dari mereka lagi. Kau sudah berjalan terlalu jauh.”
Guntur mengangkat tangannya ke udara. Kilatan hitam membentuk pusaran energi liar di sekelilingnya. Udara menjadi pekat, terasa berat di dada siapa pun yang berada di dekatnya.
Dan dalam sekejap, ledakan energi hitam meledak ke langit, memutuskan kabel-kabel listrik di sepanjang jalan. Lampu-lampu padam serentak. Kampung itu tenggelam dalam kegelapan yang lebih dalam dari sekadar malam biasa.
Hening.
Lalu hanya suara listrik yang mendesing halus seperti bisikan arwah yang terkurung.
Tubuh Guntur berdiri tegak di tengah kegelapan, tertutup penuh oleh armor bayangan yang bergerak, bernafas, hidup bersamanya.
Ia bukan lagi tukang listrik kampung.
Ia adalah badai yang telah lepas dari tali pengekangnya.
Dan untuk pertama kalinya, Guntur tersenyum kecil. Bukan karena senang, tapi karena akhirnya… ia berhenti menahan semuanya.
—
Bab: Sosok Tanpa Nama
Di tengah kampung Sayidan yang gelap, bayangan itu berdiri tegak. Tubuhnya dibalut lapisan hitam yang berkilat samar, bergerak seperti asap bercampur petir. Tak ada wajah, tak ada kulit manusia yang terlihat-hanya helm bayangan tanpa mata, dada yang dilapisi arus listrik hitam, dan tangan-tangan dingin yang bergetar oleh kekuatan liar.
Bagi orang-orang Sayidan, sosok itu bukan Guntur. Mereka tak pernah mengenal siluet seperti itu.
“SIAPA ITU?!”
“MONSTER DARI MANA DATANGNYA?!”
Teriakan-teriakan panik meledak di udara. Beberapa orang nekat melempar batu, kayu, apa pun yang bisa mereka raih. Tapi semuanya lenyap begitu menyentuh lapisan bayangan yang melindungi sosok itu. Batu-batu itu meleleh seperti jatuh ke arus listrik panas, meninggalkan suara mendesis yang mengiris telinga.
Tanpa suara, sosok hitam itu mengangkat satu tangan.
Kilatan hitam menyambar seperti cambuk petir, menghantam gerobak sayur dan membuatnya meledak dalam hujan serpihan kayu dan logam.
Orang-orang berlari, tapi lorong sempit Sayidan hanya membuat mereka seperti tikus terjebak di lubang sendiri.
Seorang lelaki tua jatuh tersungkur, napasnya terengah. “Ya Allah… tolong kami…”
Tapi jawaban yang datang hanyalah dentuman listrik lain yang menghancurkan tembok bata, serpihannya menghujani siapa saja yang ada di sekitar.
Di dalam armor itu, Guntur melihat semuanya. Jelas. Terang. Tanpa rasa bersalah.
Petrawala berbicara dalam benaknya dengan suara tenang, nyaris seperti guru yang sabar:
“Lihatlah… betapa rapuhnya mereka. Selama ini kau pikir mereka kuat? Tidak. Mereka hanya bersembunyi di balik norma-norma rapuh. Dan kau baru saja merobeknya.”
Orang-orang mulai berteriak menyebut sosok itu sebagai setan, jin, bahkan azab yang turun karena dosa-dosa mereka.
“Lariiii! Itu setan!”
“Jangan dekati dia! Itu… itu bukan manusia!”
Dan memang bukan lagi manusia.
Guntur, tersembunyi di balik kostum bayangan, berdiri diam. Arus hitam mengalir dari punggung hingga ujung jemarinya.
Ia mengangkat kedua tangan, lalu menghantamkan ke tanah.
Ledakan listrik hitam meledak ke segala arah, membuat tanah retak, kabel-kabel bawah tanah meletup, dan rumah-rumah kecil ambruk seperti mainan murahan. Udara berbau logam terbakar, dan malam yang tenang berubah menjadi neraka kecil di jantung kota.
Suara tangisan, jeritan, dan doa bercampur jadi satu dalam kekacauan itu.
Tapi di dalam dirinya, Guntur tetap hening. Hanya bisikan Petrawala yang terdengar jelas.
“Sekarang, mereka mendengarmu… meski mereka tak tahu siapa kau.”
Dan Guntur hanya berdiri, menatap kehancuran yang ia ciptakan sendiri. Entah puas, entah kosong.
Yang jelas, ia tak merasa bersalah.
Bab: Amarah Tanpa Bentuk
Langkah sosok hitam itu menghantam tanah seperti palu tak kenal belas kasih. Setiap pijakannya menimbulkan retakan di jalanan, setiap gerakannya melontarkan percikan energi yang menghancurkan apapun yang disentuh.
Bayangan listrik hitam itu kini tak lagi sekadar kostum; ia hidup, melilit tubuh Guntur seperti makhluk liar yang kelaparan. Kilatan gelap terus berdenyut, seolah-olah energi itu bukan lagi miliknya-melainkan ia yang menjadi milik energi itu.
Seorang pemuda nekat menghadangnya, membawa balok kayu.
“Siapa kau?! Berhenti-!”
Sebelum kalimat itu selesai, tangan Guntur mengayun ke samping, dan balok itu meledak jadi serpihan bersama tubuh pemuda itu yang terpental membentur tembok hingga roboh. Suara tulang remuk terdengar singkat, sebelum lenyap ditelan desing listrik yang memenuhi udara.
Petrawala tertawa pelan di benaknya, dingin seperti pisau yang mengiris lambat-lambat.
“Begitulah. Jangan beri kesempatan mereka bertanya. Dunia tak pernah memberi kesempatan padamu.”
Guntur mengayunkan kedua tangannya ke depan, dan gelombang energi hitam menghantam dua rumah kayu sekaligus. Temboknya hancur seketika, atapnya terlempar ke udara seperti kertas ringan. Orang-orang di dalamnya berteriak, berlarian, namun tak ada tempat untuk bersembunyi.
Seorang pria tua mencoba menyeret anak kecil keluar dari reruntuhan, namun kilatan hitam melesat, menghantam tanah tepat di depan mereka, membuat tanah itu ambles dan menghentikan langkah mereka. Debu dan batu beterbangan, menutupi pandangan.
Guntur melangkah lebih cepat, membabi buta, tanpa arah jelas, seperti amukan badai yang hanya ingin menghancurkan. Ia menghantam tembok demi tembok, merobohkan tiang demi tiang, membuat jalan kampung yang kecil itu menjadi medan perang.
Orang-orang mulai menangis, bukan lagi karena kehilangan rumah, tapi karena kehilangan harapan.
Mereka tidak tahu siapa yang menyerang mereka. Sosok itu tak punya wajah, tak punya suara, hanya bayangan yang terus bergerak dan membunuh segalanya di jalannya.
Di tengah kekacauan itu, suara Petrawala berbisik lagi.
“Sekarang kau tahu… betapa kecilnya kampung ini menahan amarahmu. Pergilah. Dunia lebih luas. Hancurkan lebih banyak lagi.”
Tapi di dalam kostum itu, di balik kilatan listrik liar, hati Guntur masih bergetar samar.
Samar, tapi belum sepenuhnya mati.
Meski tangannya terus menghancurkan, ada sesuatu yang menjerit di dalam dirinya: rasa kehilangan… rasa takut… rasa bahwa semua ini tidak akan bisa ia hentikan lagi.
Dan itulah yang paling menakutkan: ia sudah tak tahu bagaimana caranya berhenti.