Notifikasi
Tidak ada notifikasi
Dark? Switch Mode

Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08

All chapters are in Yama – Kelam Yang Disambut
A+ A-

8.Perjumpaan Petir dan Bayangan

Bab: Kota dalam Sambaran Hitam

Kota Yogyakarta malam itu bukan sekadar gelap-ia koyak oleh sambaran petir hitam yang terus-menerus menghantam dari tubuh seorang manusia yang telah berubah menjadi pusat badai.

Guntur, atau apa pun yang tersisa dari dirinya, bergerak cepat di antara reruntuhan Sayidan.
Tubuhnya tertutup lapisan kilatan listrik hitam, bukan armor atau bayangan biasa, melainkan arus petir pekat yang menyelimuti dirinya dari kepala hingga kaki.
Setiap langkahnya membuat percikan api menyambar tanah. Setiap ayunan tangannya memuntahkan sambaran petir yang mencabik udara seperti pisau panas.

Tiang-tiang listrik roboh, trafo meledak satu per satu, menyemburkan percikan hitam ke langit. Sambungan kabel listrik utama kota ikut meleleh, menciptakan bunga api yang menghujani jalanan seperti hujan meteor kecil.

Guntur tidak menahan apa pun. Ia membiarkan energi listrik hitam itu keluar tanpa kendali, menghancurkan apa pun yang ada di jalurnya.

Petrawala, suaranya tenang seperti biasa, membisikkan arahan berikutnya:

“Ke pusat kota. Bakar gedung-gedung itu dengan petirmu. Biar manusia tahu, mereka hanya hidup dari listrik yang kau biarkan hidup. Sekarang, ambil kembali semuanya.”

Guntur mengarahkan tangannya ke langit.
Satu ledakan petir hitam menembus awan, menyebar bagai retakan kaca di langit malam.

Seisi kota terguncang. Gardu-gardu listrik pusat ambruk.
Dari Malioboro sampai Tugu, lampu padam.
Restoran, hotel, kantor pemerintah, semua tenggelam dalam kegelapan.

Alarm mobil meraung tanpa irama, radio komunikasi mati, bahkan menara-menara pemancar sinyal ikut terbakar arus pendek.

Yogyakarta, pusat peradaban yang selalu terang di malam hari, kini berubah jadi kubangan hitam tanpa kehidupan.

Dan di tengah-tengah itu, hanya ada satu cahaya yang tersisa:
Petir hitam yang terus berputar liar di tubuh Guntur.

Orang-orang yang melihatnya dari kejauhan berbisik ketakutan:

“Itu bukan manusia…”
“Itu… listrik neraka…”
“Azab… azab telah turun…”

Tapi Guntur tidak peduli.
Tangannya terangkat lagi, menciptakan pukulan petir horizontal yang melesat sepanjang jalan Mangkubumi.

Bangunan-bangunan tua berguguran seperti mainan, dindingnya hangus terbakar, atapnya runtuh diterjang gelombang listrik yang melesat lurus tanpa ampun.

Kabel-kabel bawah tanah meledak satu per satu, menciptakan semburan api dan asap hitam dari celah-celah aspal yang terbelah.

Namun badai itu belum selesai.
Guntur melompat ke atas gedung tertinggi yang tersisa, mengangkat kedua tangannya ke langit.

Petrawala berseru, kali ini seperti ritual akhir:

“Lepaskan semuanya. Biarkan kota ini mati dalam satu kilatan.”

Dan Guntur menghantamkan kedua telapak tangannya ke bawah.

Ledakan listrik hitam menyebar seperti gelombang kejut ke seluruh penjuru kota, meruntuhkan apa saja yang masih berdiri.

Udara menjadi panas, penuh aroma besi terbakar.
Langit berubah kelam, seolah malam itu kehilangan warna.

Kota itu lumpuh total.
Tak ada listrik.
Tak ada komunikasi.
Hanya petir hitam yang tersisa, membakar udara dengan suara mendesing yang panjang dan menakutkan.

Dan di tengah semua itu, Guntur berdiri tegak di puncak reruntuhan.
Tubuhnya seperti menara petir, dikelilingi kilatan listrik hitam yang terus berputar, tidak pernah padam.

Ia telah menjadi badai.
Bukan manusia lagi.

Namun badai itu belum mencapai puncaknya.

Guntur berdiri di puncak gedung yang tinggal setengah, tubuhnya bergetar hebat, menahan kekuatan yang nyaris meluap dari batasnya. Angin berputar liar di sekelilingnya, membawa debu, asap, dan serpihan kaca yang beterbangan seperti hujan peluru halus.
Matanya yang membara hitam menatap kosong ke arah cakrawala kota yang telah hancur.

Lalu ia melompat, menembus langit gelap yang bergulung seperti perut binatang buas. Di sana, ia menyiapkan satu serangan terakhir-pukulan kehancuran yang akan menghapus seluruh kota.

Petrawala berseru keras, kata-katanya menggema bagai mantra kiamat:
“Lepaskan semuanya! Biarkan kota ini hilang dalam satu ledakan!”

Guntur mengatupkan kedua telapak tangannya.
Pusaran listrik hitam terbentuk di antara jemarinya, berputar gila, meraung seperti ribuan binatang liar yang terkurung.
Suara gemuruhnya menggetarkan langit dan bumi.

Dan ketika dia menghantamkan kedua tangannya ke bawah-
Ledakan itu melesat seperti tombak raksasa yang hendak menancap ke jantung kota.

Namun, di bawah sana, seseorang mulai berlari.

Di tengah reruntuhan yang hangus, bayangan Arno muncul, bergerak cepat menerobos kabut debu dan asap.
Langkahnya berat namun pasti, seperti membelah gelombang kehancuran yang jatuh dari langit.

Sedikit demi sedikit, sesuatu mulai menyelimuti tubuhnya.
Bayangan kelam muncul dari balik kulitnya, merayap, membentuk lapisan demi lapisan yang menyatu menjadi kostum bayangan.
Svarnavarna-makhluk yang bersemayam di dalam dirinya-mengulur kekuatannya perlahan, membungkus Arno dengan perlindungan gelap yang tidak memantulkan cahaya apa pun.

Dan di dalam benaknya, terdengar suara dingin dan tajam.

Svarnavarna berbisik dalam batin Arno:
“Jangan takut pada badai itu, bocah… Kita makan saja petirnya.”

Di sisi lain, jauh di langit, Petrawala tertawa pelan, suaranya menggema dalam kepala Guntur:
“Ah, jadi kau masih hidup, Svarnavarna… Mari kita bermain-main.”

Tanpa berkata-kata, dua kekuatan lama itu saling menyapa dalam keheningan batin yang tajam dan getir. Sebuah pertemuan lama yang kembali terjadi di medan baru.

Arno, yang tidak mengenal siapa Guntur di hadapannya, hanya tahu satu hal:
Jika serangan itu jatuh, kota ini akan lenyap.

Ia mengerahkan semua kekuatan bayangannya.
Dari kedua tangannya, muncul pusaran gelap yang tidak menyala, tidak bersinar, namun menyerap cahaya dan panas di sekitarnya.
Seperti lubang hitam yang kelaparan, bayangan itu merentang ke atas, menangkap ledakan petir hitam yang meluncur dari langit.

Seketika, benturan dahsyat terjadi.
Petir hitam bertemu bayangan gelap.
Suara ledakannya tidak seperti petir biasa-itu suara dunia yang tercabik dan direkatkan kembali secara paksa.
Asap, debu, dan listrik liar berputar dalam pusaran tak kasatmata di atas reruntuhan kota.

Arno menahan serangan itu dengan seluruh kekuatan bayangannya, lututnya hampir jatuh, dadanya bergetar menahan arus yang mencoba menembus pertahanannya.
Namun bayangan itu tidak sekadar menahan.
Ia mulai memakan petir hitam itu perlahan, seperti makhluk lapar yang menemukan santapan pertamanya dalam ribuan tahun.

Dan di sana, di tengah medan yang mulai hening karena kelelahan, dua sosok itu berdiri saling berhadapan untuk pertama kalinya.

Arno menatap tajam ke arah Guntur, nafasnya berat, tubuhnya masih diselimuti sisa bayangan pekat.
Sedangkan Guntur, berdiri tegak, tubuhnya tetap menyala dalam pusaran listrik hitam, matanya kosong tanpa emosi.

Mereka tidak saling mengenal.
Tidak ada kata-kata, tidak ada perkenalan.
Hanya dua kekuatan yang saling mengukur dalam sunyi.

Petrawala dan Svarnavarna, jauh di dalam batin masing-masing, saling menyeringai.
Pertarungan baru saja dimulai.

Angin mendadak terhenti.
Debu yang semula berputar, jatuh perlahan seperti abu kematian.
Hening sejenak, sebelum neraka pecah sekali lagi.

Guntur melesat turun tanpa peringatan. Tubuhnya bagai meteor hitam yang membakar udara.
Tanpa aba-aba, ia hantamkan tinjunya yang berselimut listrik hitam ke arah Arno.

Arno mengangkat lengannya, bayangan Svarnavarna membentuk perisai tebal yang menyerap hantaman itu.
Tapi kekuatan Guntur terlalu brutal.
Perisai itu retak, bayangan itu bergetar.

Tak menunggu retakan itu sembuh, Guntur berputar, lututnya menghantam perut Arno, mengirimkan aliran listrik liar yang membakar jaringan sarafnya.
Tubuh Arno terlempar menembus dinding bangunan yang sudah separuh runtuh, menghancurkannya dalam satu benturan keras.

Belum sempat bangkit, Guntur melompat, menghujani Arno dengan tinju-tinju listrik hitam, seperti palu-palu maut yang tak kenal henti.
Setiap pukulan membuat tanah bergetar, udara berdesing oleh panas arus listrik.

Tapi di tengah hujan serangan itu, bayangan Arno bergerak.
Svarnavarna berteriak di dalam batinnya:

“Bangkit, bocah bodoh! Kau pikir kita datang ke sini untuk mati seperti anjing?!”

Mata Arno bersinar kelam. Bayangannya melesat seperti duri-duri tajam, menusuk tubuh Guntur dari segala arah.
Puluhan tombak bayangan muncul dari tanah, tembok, dan udara, menancap ke tubuh Guntur.

Tubuh Guntur tersentak, tapi tak roboh.
Sebaliknya, ia tertawa pelan, suaranya serak seperti logam terbakar.

“Lemah,” gumamnya dingin.

Petrawala berbisik lembut di benak Guntur.

“Hancurkan dia. Dia hanya bayangan yang tersesat. Kau adalah badai.”

Guntur menghentakkan kedua kakinya ke tanah. Gelombang listrik hitam meledak ke segala arah, menghancurkan tombak-tombak bayangan dalam sekejap.

Arno terpental mundur, kakinya menyeret debu dan kerikil.

Svarnavarna, dengan nada sinis, menyahut dalam batinnya:

“Kau pikir listrik bisa mengusir bayangan? Kau masih bodoh seperti dahulu, Petrawala.”

Di langit batin, dua kekuatan purba itu bertemu, bukan sebagai teman, tapi sebagai musuh abadi.
Svarnavarna, sang raja bayangan yang memakan terang.
Petrawala, roh badai yang membakar langit dan bumi.

Namun di medan nyata, Arno dan Guntur kembali menerjang satu sama lain.

Arno melesat, tubuhnya membelah udara seperti pisau bayangan. Tinju bayangannya menghantam dada Guntur, mendorong listrik hitamnya terpecah sesaat.

Guntur membalas dengan tendangan berputar, menciptakan busur petir yang memotong tanah menjadi dua.
Arno menunduk, lalu memanggil ribuan serpihan bayangan dari reruntuhan, membentuk cambuk panjang yang melilit tubuh Guntur, menariknya jatuh ke tanah.

Tapi Guntur tidak terjebak lama. Tubuhnya meledak dalam pusaran petir hitam, menghancurkan lilitan bayangan itu hingga lenyap seperti asap tertiup badai.

Mereka berdua melompat kembali, saling menatap tajam, napas memburu.

Petrawala kembali berbisik:

“Kirim dia ke kuburannya.”

Svarnavarna tertawa pendek:

“Kuburannya terlalu kecil untuk kami berdua.”

Dan sekali lagi, mereka bertabrakan.

Tinju melawan tinju.
Bayangan melawan petir.
Udara terbelah, tanah meledak, langit bergetar.

Tidak ada jurus indah. Tidak ada teknik sempurna.
Hanya kekuatan murni yang ingin saling menghancurkan.
Darah, kalau ada, sudah meleleh bersama listrik dan bayangan yang saling memakan.

Yogyakarta malam itu bukan lagi kota.
Ia adalah medan pertempuran dua kekuatan purba yang lupa caranya berhenti.

Dan pertempuran itu belum mendekati akhirnya.
Mereka hanya memulai.

Bab: Kota yang Terbakar, Pena yang Masih Menulis

Di tengah reruntuhan Sayidan yang mulai tenggelam dalam gelap dan asap, Aini Prameswari berlari tanpa ragu. Gadis wartawan dari Harian Dwi Warna itu bukan tentara, bukan polisi, apalagi pahlawan berkekuatan super. Tapi malam ini, semua gelar itu tak penting. Yang penting hanya satu: menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa.

Langit di atasnya terus bergetar oleh ledakan aneh-bukan petir biasa, bukan gempa bumi, tapi sesuatu yang lebih kelam dan asing. Kilatan hitam dan bayangan kelabu bertabrakan di udara, mencabik langit malam seperti dua raksasa purba yang terbangun dari tidur panjangnya.

Aini tidak tahu siapa mereka.
Dua sosok misterius, baru pertama kali muncul di depan mata warga kota.

Satu seperti badai petir hitam yang membakar udara dengan kekuatan brutal.
Yang satu lagi seperti bayangan besar yang menelan cahaya, dingin dan hening.

Tapi siapa pun mereka, satu hal jelas bagi Aini:
Mereka bukan penyelamat.
Mereka adalah bencana baru di tengah kota yang belum sempat pulih dari luka-luka lamanya.

“Semua yang masih sadar, ikut aku!” teriak Aini lantang di tengah reruntuhan, suaranya memotong kepanikan seperti pisau tajam.

Warga-warga yang terjebak mulai bangkit dari persembunyian mereka. Ada yang tertatih, ada yang menggendong anak kecil, ada yang hanya bisa menyeret kaki dengan luka-luka yang mengerikan.

Aini merangkul seorang bapak tua yang limbung, membantunya berdiri.

“Ayo, Pak, kita cari jalan keluar. Ini belum berakhir, jangan menyerah!”

Dari radio kecil di pinggangnya, suara relawan lain terdengar terputus-putus di antara interferensi listrik yang mengacaukan sinyal:

> “…jalur Kenari… utara terputus… cari ke arah barat, cepat!”

Aini mengangguk sendiri, lalu menunjuk ke gang sempit di sisi pasar yang mulai roboh.

“Ke sana! Ikuti gang itu! Aku akan cari yang lain!”

Tanpa ragu, ia kembali berlari ke arah puing-puing yang lebih dalam, tempat suara tangisan terdengar samar.

Di tengah langkahnya, kilatan petir hitam menyambar langit di belakangnya, menerangi bayangan dua sosok itu sekali lagi. Sekilas, Aini memandang ke atas. Hatinya mencelos.

Siapa mereka?
Apa yang mereka cari di kota ini?
Dan yang lebih menakutkan: berapa lama lagi pertarungan itu akan merobek kota ini sampai habis?

Tapi Aini tidak punya waktu untuk jawaban.
Dia hanya tahu satu hal: manusia yang lemah di bawah reruntuhan ini tidak bisa menunggu sampai jawaban itu datang.

Di balik puing tembok yang ambruk, ia temukan seorang anak kecil terperangkap. Aini segera merangkak masuk, mengangkat balok kayu yang menindih kaki anak itu.

“Tenang ya, dek… Kakak di sini… kita keluar bareng.”

Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia menarik anak itu keluar, menggendongnya, lalu berlari menjauh tepat saat ledakan lain mengguncang tanah.

Dan di sela-sela pelarian itu, ia berpikir:
“Jika besok aku masih hidup, kisah ini harus kutulis. Dunia harus tahu… bahwa malam ini, ada sesuatu yang lebih gelap dari sekadar malam.”

Namun untuk saat ini, yang terpenting bukan berita.
Yang terpenting adalah hidup.

Bab: Kota yang Terbakar, Pena yang Masih Menulis (Lanjutan)

Langkah-langkah Aini terus berpacu dengan waktu. Debu dan asap membuat matanya perih, tapi ia tidak berhenti. Nafasnya memburu, lututnya gemetar, namun tangannya tetap erat menggendong anak kecil yang mulai terisak pelan di pelukannya.

Dari kejauhan, ia mendengar suara klakson panjang, tanda tim relawan dan pemadam mulai masuk ke zona merah. Cahaya lampu senter berkelebat-kelebat di lorong-lorong gelap, bagai bintang-bintang kecil di tengah langit yang retak.

Aini melambai ke arah mereka.

“Di sini! Ada korban luka!” teriaknya.

Dua orang relawan berlari menghampiri, segera mengambil anak kecil itu dari pelukan Aini dengan sigap.

“Terima kasih, Mbak! Arahkan yang lain ke Pos Tiga, jalur utara masih aman!”

Aini mengangguk cepat. Tapi sebelum ia bergerak lagi, suara lain memanggilnya dari sisi reruntuhan yang lebih gelap.

“Aini!”

Ia menoleh. Dari balik asap, muncul sosok Jono, detektif muda yang baru beberapa hari pindah ke Jogja. Seragamnya lusuh, wajahnya berkeringat, tapi matanya tetap awas.

“Apa yang kau lakukan di sini? Ini bukan tempat wartawan cari berita!” serunya keras, nadanya tajam tapi penuh kekhawatiran.

Aini menarik napas pendek, lalu menjawab tegas, “Aku bukan cari berita, Pak Jono. Aku cari orang-orang yang masih hidup.”

Jono mendekat, menatapnya beberapa detik tanpa kata. Lalu ia tersenyum kecil, lelah namun tulus.

“Baiklah. Tapi jangan sendiri lagi. Aku bantu. Ayo, kita sisir ke arah selatan. Masih ada beberapa rumah yang belum diperiksa.”

Mereka berdua berlari bersama, menyusuri lorong-lorong sempit yang mulai tertutup reruntuhan. Jono mengeluarkan senter kecil dari sakunya, menerangi jalan setapak yang nyaris hilang ditelan bayangan.

Di atas mereka, dua sosok purba itu masih bertarung. Petir hitam dan bayangan kelabu beradu tanpa henti, suara dentumannya membuat dinding-dinding tua bergetar.

Sesekali Jono melirik ke langit, wajahnya tegang.

“Apa pun itu… kita harus cari cara agar orang-orang ini selamat dulu. Masalah mereka berdua, urusan nanti.”

Aini hanya mengangguk. Hatinya penuh tanya, tapi malam ini, bertanya adalah kemewahan. Yang dibutuhkan hanya bertindak.

Mereka menemukan seorang ibu muda yang terjebak di balik pintu besi bengkok. Dengan usaha keras, Jono mendongkrak pintu itu dengan linggis seadanya, sementara Aini menarik wanita itu keluar.

Di kejauhan, suara tembakan peringatan terdengar-entah dari mana, entah melawan siapa. Tapi Aini dan Jono tetap fokus.

Satu nyawa lagi. Dan satu lagi.

Malam ini mungkin kota terbakar, tapi pena Aini masih menunggu. Ia akan menulis semuanya-jika ia masih hidup besok pagi.

Dan di langit yang retak itu, pertempuran dua kekuatan misterius belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Bab: Dua Bayangan Lama yang Turun Tangan

Di sisi lain kota, di tengah kepanikan yang mulai merembet hingga ke kawasan Kotabaru dan Gondolayu, dua sosok lama melangkah dalam bayang-bayang reruntuhan.

Haryo, masih dengan jaket lusuh dan tas selempang berisi catatan-catatan aneh, berdiri di tepi jalan yang penuh kabel berserakan dan pecahan kaca. Ia menatap ke arah pusat kota yang gelap, sesekali mengerutkan kening melihat kilatan petir hitam yang merobek langit Sayidan.

Ia bergumam pelan, nyaris seperti bercanda kepada dirinya sendiri,
“Jogja panas banget malam ini… bahkan sebelum lebaran tiba.”

Tak jauh dari sana, Pura Wilantara, dengan setelan sederhana yang membuatnya tampak seperti guru biasa, berdiri di bawah bayang pohon tua dekat Jembatan Gondolayu. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam menelisik arah gelombang energi aneh yang bergetar di udara.

Ia menutup matanya sebentar, merasakan getaran tanah dan hawa listrik di udara.
Pelan, ia berbisik,

“Svarnavarna… Petrawala…
Dua nama lama itu kembali berseteru, dan Jogja jadi panggungnya.”

Namun malam ini bukan malam untuk berdebat tentang siapa yang berhak atas kekuatan itu. Ini adalah malam untuk menyelamatkan manusia-manusia biasa yang terjebak di tengah amukan dua kekuatan purba yang bertarung tanpa peduli siapa yang hidup atau mati.

Di Lokasi Berbeda:

Haryo di Kampung Jetis Wetan

Haryo menyusuri gang-gang sempit yang nyaris runtuh, membantu warga yang panik keluar dari rumah mereka yang retak-retak. Ia membantu seorang pemuda menarik seorang ibu tua yang terjebak di bawah lemari kayu.

“Cepat, bawa ke lapangan utara! Jangan berhenti sebelum sampai sana!” serunya sambil menunjuk jalan pintas yang masih aman.

Beberapa warga menatapnya heran. Siapa orang ini? Bukan tentara, bukan polisi, tapi gerakannya cekatan, seperti orang yang sudah berkali-kali menghadapi bencana serupa.

Seorang pemuda bertanya di sela panik, “Mas… Mas siapa sih?”

Haryo hanya tersenyum kecil sambil membersihkan tangannya yang kotor.
“Cuma orang lewat yang nggak suka lihat kota ini jadi abu.”

Pura di Utara Malioboro

Pura bergerak tenang, tapi cepat, di antara deretan toko yang gelap gulita. Ia membantu memimpin evakuasi warga yang terjebak di basement sebuah gedung tua.

Dengan tenang ia berkata kepada para penjaga gedung,
“Arahkan semua orang ke selatan, ke arah Tugu. Jangan ke timur, ada retakan di jalan utama. Tanahnya bisa amblas kapan saja.”

Tak ada yang sempat bertanya kenapa dia begitu yakin. Aura tenangnya cukup membuat orang-orang percaya dan mengikuti arahannya tanpa banyak tanya.

Di telinganya, gemuruh pertarungan di kejauhan terdengar seperti lonceng peringatan lama yang berbunyi kembali. Ia tahu, dua kekuatan purba itu masih bertarung dengan ganas di Sayidan-di mana Arno dan Guntur saling menghancurkan tanpa ampun.

Haryo dan Pura Belum Bertemu

Mereka berdua masih bergerak di jalur masing-masing, tanpa saling tahu posisi satu sama lain. Tapi batin mereka terhubung dalam rasa yang sama:

Malam ini bukan tentang kekuatan siapa yang menang. Ini tentang siapa yang masih bisa bertahan hidup esok pagi.

Dan jauh di tengah reruntuhan Sayidan, pertarungan Arno dan Guntur masih berlangsung sengit, memecahkan langit dan mengguncang bumi. Di bawahnya, Aini, Jono, dan para warga bertarung dengan waktu, berusaha menyelamatkan jiwa-jiwa yang terjebak di antara bayangan dan petir yang saling menghancurkan.

Bab: Harapan di Tengah Kekacauan

Langkah Aini mulai berat. Debu dan asap membuat napasnya sesak, sementara teriakan warga yang panik terus berdentum di telinganya, bersahut-sahutan dengan ledakan petir hitam dan bayangan kelabu yang saling menghancurkan langit.

Tangannya masih gemetar setelah menarik seorang anak kecil dari balik reruntuhan, tapi matanya tetap menyapu ke segala arah, mencari siapa pun yang masih bisa diselamatkan.

Dan di sela semua kelelahan itu, ada satu nama yang tak sengaja lolos dari bibirnya, lirih seperti bisikan yang bahkan kalah nyaring dari angin malam:

“Arno… kamu di mana sih? Kalau ada saat yang paling butuh kamu, ya sekarang…”

Kepalanya menunduk, menahan rasa cemas yang menghimpit dada. Sejak listrik padam dan kekacauan ini mulai, Arno seolah lenyap. Tak ada kabar, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Biasanya pemuda keras kepala itu selalu muncul entah membawa jawaban aneh atau malah membuat masalah bertambah rumit. Tapi sekarang? Kosong.

Di sampingnya, Jono yang baru saja kembali setelah membantu warga membawa dua korban luka ke tempat aman, ikut terdiam sejenak. Ia mengusap keringat dengan punggung tangannya, lalu melirik Aini yang tampak termenung.

“Ngomong-ngomong dimana Mas Arno?” tanya Jono, nadanya setengah menggoda, setengah prihatin.

Aini menarik napas panjang. “Entahlah, Pak Jono… Dia mungkin keras kepala, suka ngilang, tapi di saat kayak gini… aku cuma pengen dia muncul dan bilang semuanya bakal baik-baik aja.”

Jono menatap ke arah Sayidan, tempat dua sosok misterius bertarung tanpa ampun. Langit gelap berkilat hitam, reruntuhan kota bergetar seperti napas terakhir sebuah peradaban.

Ia menghela napas. “Kalau bocah itu waras, dia pasti lagi cari jalan ke sini. Kalau dia bodoh… bisa jadi dia malah nyangkut di tengah kekacauan itu.”

Aini tertawa kecil, getir. “Yang di sana bukan manusia, Pak. Nggak mungkin Arno ada di tengah-tengah petir sama bayangan kayak gitu.”

Jono mengangguk pelan, seolah menguatkan keyakinan itu. Mereka sama-sama tak tahu, tak menyangka, bahwa sosok yang mereka harapkan justru sedang berdiri di jantung pertempuran itu. Bertarung sendirian menghadapi badai, menjaga kota yang bahkan tak tahu siapa pelindungnya malam ini.

Bagi dia, Arno masih sekadar teman keras kepala yang kadang muncul, kadang hilang. Bukan bayangan yang bertarung melawan petir hitam di langit Sayidan.

Dan Aini, dengan sisa tenaga yang ada, kembali berlari menembus reruntuhan. Mencari yang masih bisa diselamatkan. Berharap, tanpa sadar, bahwa seseorang diam-diam telah menahan kehancuran agar tidak menyentuh mereka.

Bab: Bayangan yang Mulai Retak

Di atas reruntuhan Sayidan yang terbakar oleh kilatan petir hitam dan serpihan bayangan kelabu, Arno mulai goyah.

Tubuhnya terluka di banyak tempat, napasnya berat seperti ditarik dari dasar jurang. Bayangan yang melindunginya mulai retak, bergerigi seperti kaca tua yang siap pecah. Setiap serangan Guntur semakin brutal, semakin liar, tanpa henti seolah ingin menghancurkan bukan hanya tubuh Arno, tapi juga tekadnya.

Petrawala tertawa dingin dalam batin Guntur.

“Kau melemah. Bayangan itu haus darah, tapi tubuhmu rapuh. Berapa lama lagi kau bisa bertahan?”

Svarnavarna berdesis dari balik bayangan Arno.

“Jangan dengarkan dia, bocah. Selama kau masih berdiri, bayangan tidak akan runtuh.”

Tapi Arno tahu batasnya semakin dekat. Setiap kali Guntur menghantamnya dengan tinju listrik hitam, tubuhnya seperti dilempar ke dalam jurang panas yang tak berujung. Setiap kali bayangannya menangkis, serpihan kekuatannya menguap, meninggalkan rasa dingin yang menyakitkan di tulang-tulangnya.

Guntur melangkah maju, bayangan petir mengelilingi tubuhnya seperti mahkota kematian. Suaranya rendah, pelan, tapi mematikan.

“Sudah cukup. Dunia ini tidak butuh bayangan pengecut sepertimu.”

Ia menghentakkan tangan ke tanah. Gelombang listrik hitam meledak dari bawah kaki Arno, menghancurkan sisa-sisa bayangan yang masih tersisa sebagai pelindungnya.

Arno terlempar ke belakang, menghantam dinding reruntuhan dengan keras. Debu beterbangan, tanah bergetar. Tubuhnya nyaris tak bisa bangkit.

Svarnavarna mendesis tajam.

“Bangkit, Arno! Apa kau mau mati sia-sia? Kota ini masih butuh seseorang yang berdiri!”

Namun Arno hanya tersenyum tipis, darah menetes dari sudut bibirnya.

“Lucu juga… Aku bahkan nggak yakin kota ini tahu aku lagi berjuang buat mereka.”

Langit di atasnya kembali meledak oleh kilatan hitam.

Dan saat Guntur melangkah maju, bersiap memberikan pukulan terakhir, Arno mengepalkan tinjunya, memanggil sisa bayangan yang masih tersisa dalam dirinya.

“Kalau aku jatuh sekarang… siapa yang bakal ngeberesin ini semua?”

Dengan sisa tenaga, ia berdiri, goyah, tapi tetap tegak.

Svarnavarna berbisik pelan, untuk pertama kalinya dengan nada lebih lembut:

“Anak bodoh. Setidaknya kau berdiri, itu cukup.”

Di kejauhan, sirine masih terdengar samar. Kota masih bernafas, meski pelan.

Dan Arno, di tengah semua itu, bersiap menghadapi serangan berikutnya.

Bab: Bayangan yang Kembali di Tengah Asap

Di lorong sempit yang masih dipenuhi asap sisa kebakaran, Aini baru saja selesai menarik seorang ibu muda keluar dari reruntuhan ketika suara langkah tergesa terdengar di belakangnya.

“Aini!”
Sebuah suara serak namun akrab memanggil.

Ia menoleh cepat, napasnya masih tersengal. Sosok Arno muncul dari balik bayangan, wajahnya kotor oleh debu dan arang, kemeja lusuhnya sobek di beberapa bagian. Tapi sorot matanya tetap tenang, meski ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Arno?! Ke mana saja kau tadi?” Aini hampir membentak, matanya masih dipenuhi kekhawatiran. “Kau menghilang di tengah kekacauan! Aku kira kau-”

Arno mengangkat tangan, menghela napas pelan, mencoba menenangkan situasi.
“Aku ikut bantu evakuasi di sisi barat, dekat Kali Code. Ada banyak warga yang terjebak di sana.”
Nada suaranya datar, meyakinkan, meski dalam hatinya ada kebohongan yang menggantung berat.

Aini terdiam sesaat, lalu menghela napas lega walau masih ragu.
“Kau bisa saja bilang dari tadi. Kami kekurangan orang di sini. Kota ini… hampir habis, Arno.”

Arno menunduk, bayang-bayang pertarungannya dengan Guntur masih membekas jelas di benaknya. Tapi itu bukan saatnya membahasnya.

“Apa yang masih bisa kita lakukan sekarang?” Arno bertanya pelan.

Aini menatapnya tegas. “Kita belum selesai. Masih ada orang-orang yang terjebak di utara. Pak Jono baru saja ke sana. Aku mau susul dia. Kau ikut?”

Arno tersenyum tipis, menyembunyikan rasa lelahnya yang mendalam.
“Tentu. Aku tidak akan pergi lagi. Setidaknya malam ini.”

Tanpa kata lebih panjang, mereka berdua kembali berlari ke arah gelap yang belum tersentuh pertolongan.
Di belakang mereka, bayangan-bayangan reruntuhan masih gemetar oleh sisa pertarungan sebelumnya.

Dan di benak Arno, suara Svarnavarna berbisik pelan, mengingatkan:
“Bayangan tidak bisa berbohong selamanya, Nak. Cepat atau lambat, kebenaran akan mengejarmu lebih cepat dari cahaya.”

Tapi malam ini, Arno memilih diam.

Tags: read novel Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08, novel Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08, read Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08 online, Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08 chapter, Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08 high quality, Yama – Kelam Yang Disambut Chapter 08 light novel, ,