9.Antara kegelapan dan salah paham
—
Bab: Gemuruh yang Membelah Langit (Lanjutan Pertarungan Guntur vs Arno)
Sisa-sisa ledakan petir masih bergetar di udara. Asap dan debu memenuhi ruang kosong di antara dua sosok itu, seolah waktu sendiri enggan bergerak.
Guntur berdiri terpaku, dadanya naik turun berat. Ini pertama kalinya ia mengerahkan seluruh tenaga petir hitamnya tanpa menahan-dan hasilnya membuat separuh gedung runtuh, kaca pecah menjadi hujan tajam di bawah sana.
Arno, meski tubuhnya terhempas ke dinding beton, perlahan berdiri lagi. Napasnya kasar, bibirnya berlumur darah, tapi matanya… matanya tetap menatap tajam ke arah Guntur.
“Aku tidak menyangka kau-” Arno bicara, suaranya serak, “-punya kekuatan sebesar ini… tapi kau belum menang.”
Petir hitam masih menyala liar di sekitar tubuh Guntur, seperti ular-ular listrik yang belum jinak. Tangannya bergetar, baik karena lelah maupun karena adrenalin yang belum turun. Ia menatap Arno, keraguan samar terlintas di matanya.
“… Ini pertama kalinya aku melepaskannya semua.” suara Guntur nyaris tenggelam dalam gemuruh di langit, “Dan entah kenapa… rasanya salah.”
Arno mengangkat tangannya, membentuk tinju. “Jangan lemah di tengah pertarungan. Entah kau merasa salah atau tidak, aku tetap akan menghajarmu karena sudah membuat semua seperti ini.”
Seketika Arno melesat, tubuhnya bagai bayangan yang menyusup di sela-sela kilat. Tinju kanannya menghantam Guntur tepat di perut, membuat pemuda itu terpental mundur beberapa langkah.
Namun Guntur tak jatuh. Petir kembali berdesis, menyelimuti lengannya.
“Bukan aku yang akan jatuh hari ini!” teriak Guntur.
Keduanya kembali bertarung brutal. Tidak ada jurus-jurus rumit, hanya benturan kekuatan mentah. Tinju bertemu tinju, tendangan bertemu petir, dan setiap pukulan menghasilkan ledakan kecil yang menghancurkan sisa bangunan di sekeliling mereka.
Kilatan hitam dan suara dentuman bertarung dengan bayangan-bayangan Arno yang bergerak lebih cepat dari pandangan biasa. Jalanan Sayidan, yang tadinya hanya retak, kini porak-poranda seperti habis diterjang perang kecil.
—
Namun perlahan, tubuh keduanya mulai memperlihatkan batasnya.
Guntur terhuyung satu langkah, petir di lengannya mulai bergetar tak stabil, seolah kekuatan itu sendiri menolak dikendalikan lebih lama. Otot-ototnya terasa terbakar dari dalam, seperti ada bara yang meletup di balik kulitnya.
Di sisi lain, Arno mulai limbung. Bayangan yang semula melesat cepat kini hanya berupa kilasan buram. Setiap gerakan membuat dadanya seolah disayat ulang oleh luka yang belum sempat pulih.
Tapi meski tubuh mereka mulai memberontak, tekad mereka justru mengeras.
“Kalau kau mau berhenti… berhentilah,” kata Arno terengah, “Tapi aku masih berdiri di sini… sampai semuanya selesai.”
Guntur mengepalkan tangannya, petir hitam menyambar liar dari telapak hingga ke pundak. “Aku tidak tahu bagaimana berhenti.”
Dan tanpa aba-aba, mereka kembali saling menerjang. Kali ini lebih dekat, lebih brutal.
Guntur menghantamkan sikunya yang diselimuti petir ke rahang Arno, membuat tubuh lawannya terpental ke belakang. Tapi sebelum Arno sempat jatuh, dia memutar tubuhnya dan melepaskan tendangan berbalut bayangan pekat ke arah rusuk Guntur, membuat pemuda itu terseret beberapa meter.
Keduanya terhenti, terengah-engah, berdiri dengan lutut gemetar tapi mata tetap saling mengunci. Napas mereka seperti mesin kehabisan tenaga, tapi keinginan untuk menundukkan lawan masih menyala di dada masing-masing.
Petir hitam berdesis di sekitar Guntur, tapi tak lagi sekuat tadi. Bayangan hitam di sekitar Arno mulai pudar, menyisakan tubuh yang luka dan penuh goresan.
Dalam jeda singkat itu, di tengah hujan debu dan sisa ledakan, Guntur berkata dengan suara yang berat tapi jujur,
“Ini… tidak akan ada yang menang.”
Arno mengangkat kepalanya, tersenyum tipis di sela-sela rasa sakit. “Tapi aku tidak akan berhenti duluan sampai kau menanggung semua yang telah kau akibatkan ini”
Guntur membalas dengan senyum lelah, petir hitam menyala kembali di genggamannya. “Tanggung jawab ya? .”
Dan lagi-lagi, mereka menerjang, seperti dua badai yang enggan reda, saling menghancurkan tanpa peduli pada esok hari.
—
Bab: Suara-Suara yang Tidak Tampak
Petir hitam dan bayangan pekat kembali bertabrakan, mengguncang sisa-sisa gedung yang sudah rapuh.
Guntur melompat, kepalan tangannya berselimut petir, menghantam Arno yang membalas dengan tinju bayangan hitam. Dentuman itu menggema hingga ke tulang mereka, seperti dua dimensi bertabrakan di tubuh fana.
Di sela-sela benturan, saat waktu terasa melambat, suara itu datang-dari tempat yang tak bernama.
—
Di dalam batin Arno, suara dingin yang dikenalinya dengan baik, berbicara:
“Begitu keras kepala… Kau tahu kau tak butuh semua amarah itu, Arno. Bayangan tidak bertarung dengan marah. Bayangan menunggu… diam… lalu menelan. Kau sedang tergesa, seperti anak kecil yang ingin dianggap dewasa.”
Nada itu sarkastik, mengejek lembut.
Svarnavarna.
“Tunggu, lihat celahnya. Jangan bodoh seperti cahaya yang selalu tergesa-gesa mencari ujung. Biarkan dia habis sendiri.”
Arno mengertakkan gigi. Ia tahu bayangan benar… tapi harga dirinya menolak hanya menunggu.
—
Sementara itu, di tubuh Guntur, kilatan panas menyayat pikirannya. Suara kasar bagai petir yang tak pernah belajar berbisik, meledak dalam benaknya:
“JANGAN BERHENTI! GERAK, SEKARANG! HANTAM DIA SAMPAI TAK BISA BERDIRI LAGI!”
Itu suara yang baru kemarin ia kenali.
Petrawala.
“Kau berhenti, kau mati. Kau ragu, dia akan melahapmu. Petir tidak menunggu kesempatan. Petir adalah kesempatan!”
Tapi di balik semua itu, Guntur merasa tubuhnya hampir roboh, kekuatannya hampir habis.
—
Dan di tengah pertarungan itu, keduanya sadar:
Mereka bukan hanya bertarung melawan satu sama lain.
Mereka sedang bertarung melawan diri mereka sendiri.
Arno melawan keinginannya untuk membekukan dunia dalam diam.
Guntur melawan dorongan liar untuk menghancurkan segalanya tanpa pikir panjang.
Mereka berdua, pada akhirnya, hanyalah manusia yang diberi secuil kutukan para entitas kosmis yang jauh lebih besar dari sekadar kemenangan dan kekalahan.
—
Satu pukulan lagi menghantam dada Guntur, membuatnya terlempar. Tapi sebelum jatuh, dia menancapkan kaki ke puing-puing beton, petir hitamnya kembali menyala.
Arno menarik napas, bayangan di sekelilingnya berkumpul seperti kabut.
Dan suara-suara itu masih ada. Mengiringi mereka, seperti dua bayang-bayang yang tak pernah bisa lepas.
—
Bab: Ketika Semesta Masih Bergema Kosong
Jauh sebelum dunia manusia mengenal siang dan malam, jauh sebelum bumi berputar pada porosnya, di dimensi pertama yang lahir dari kehampaan, dua kekuatan terbangun bersamaan-bukan sebagai sahabat, tapi juga bukan sebagai musuh dalam makna sederhana.
Mereka adalah Svarnavarna, sang bayangan yang diam tapi menelan segalanya, dan Petrawala, sang petir yang berlari lebih cepat dari waktu.
Mereka lahir bukan dari rahim dewa, bukan dari ciptaan apa pun, tapi dari kontradiksi itu sendiri.
—
Svarnavarna: Yang Diam Namun Abadi
Di sisi gelap semesta yang pertama, Svarnavarna mengendap sebagai kekosongan yang sadar.
Ia bukan kegelapan karena kekurangan cahaya, tapi karena ia memilih untuk tidak menjadi terang.
“Segala yang bergerak akan lelah. Tapi aku, yang diam, akan tetap ada saat semua berhenti,” begitu pikirnya.
Svarnavarna menyaksikan bintang-bintang pertama menyala dengan sinis.
Baginya, cahaya hanya ilusi yang sebentar lagi akan padam.
Ia tidak membenci cahaya, ia hanya tahu bahwa bayanganlah yang akan tetap tinggal saat semuanya selesai.
—
Petrawala: Yang Menyambar Tanpa Permisi
Lalu, di ujung semesta yang masih basah oleh ledakan awal, Petrawala lahir sebagai petir pertama, kilatan energi yang merobek keheningan.
Ia tidak sabar, tidak mau menunggu dunia terbentuk perlahan. Ia menghantam kehampaan agar sesuatu terjadi.
“Diam adalah kematian tanpa akhir. Lebih baik aku terbakar dalam gerakan daripada membeku dalam kekosongan,” demikian tekadnya.
Petrawala menyambar ruang kosong berkali-kali, menciptakan retakan-retakan yang nantinya menjadi dimensi-dimensi baru, membuka jalur-jalur energi yang akan dihuni oleh bintang dan planet.
—
Pertemuan dan Perseteruan Abadi
Ketika Svarnavarna dan Petrawala bertemu di batas dimensi mereka, mereka tidak saling menyapa.
Tidak ada sapaan hangat atau permusuhan terang-terangan.
Hanya diam dan sambaran.
Hanya bayangan yang membungkam, dan petir yang meledak tanpa jeda.
Mereka tahu, mereka tidak bisa saling menghancurkan, tapi juga tidak bisa berdamai.
Svarnavarna berkata dengan sarkasme lembut:
“Teruslah menyambar, Petrawala. Pada akhirnya, bahkan kau pun akan lelah, dan aku akan tetap di sini menunggu reruntuhanmu.”
Petrawala tertawa keras, suaranya seperti badai yang membelah dimensi:
“Aku tidak peduli berapa kali aku runtuh. Setiap kehancuranku adalah alasan bagiku untuk bangkit lebih liar!”
—
Siklus Tak Berujung
Mereka bertarung, terpisah, lalu bertemu lagi.
Mereka memecahkan dimensi, menciptakan retakan-retakan di jagat lain, dan dari celah itu, lahirlah dunia-dunia baru yang membawa serpihan bayangan dan petir mereka.
Di salah satu retakan itu…
Dunia manusia terlahir.
Dan di sanalah, ribuan siklus waktu kemudian, dua titisan kecil dari konflik mereka bertemu dalam wujud fana: Guntur dan Arno.
—
Kebenaran yang Lebih Besar
Svarnavarna dan Petrawala tahu, pertarungan mereka tidak akan pernah selesai.
Tapi keduanya paham: semesta butuh keduanya.
Tanpa bayangan, cahaya kehilangan maknanya.
Tanpa petir yang bergerak, bayangan menjadi kuburan yang tak pernah berubah.
Mereka adalah kutukan sekaligus penyeimbang satu sama lain.
Bab: Ketika Darah Mengalahkan Petir
Petir hitam kembali menyambar, membelah udara yang sudah penuh dengan bau logam dan debu panas. Guntur menyerang tanpa henti, tinju dan kilatan energi bertubi-tubi menghantam ke arah Arno.
Namun semakin lama, serangan-serangan Guntur mulai kehilangan bobotnya.
Petir di tubuhnya bergetar tak stabil. Nafasnya putus-putus. Tubuhnya sudah mencapai batas.
Darah mengalir dari pelipisnya, dari sudut bibirnya, dari luka-luka yang terbuka di sekujur tubuhnya.
Arno, meski tubuhnya penuh lebam dan luka, masih berdiri tegak.
Bayangan di sekelilingnya mulai menebal lagi, bukan karena kekuatan baru, tapi karena ia bertahan.
Karena ia menunggu.
“Aku sudah bilang, aku tidak akan berhenti duluan,” desis Arno pelan, dengan suara serak yang nyaris terdengar seperti geraman.
Guntur menyerang lagi, tinjunya menyala hitam, menghantam perut Arno-tapi Arno menahannya.
Tangan kirinya memutar, mengunci pergelangan Guntur, dan dalam satu gerakan kasar, menarik tubuh lawannya ke arah lututnya yang menghantam dada.
Guntur terbatuk keras, darah muncrat dari mulutnya.
Belum sempat dia menarik nafas, Arno melepaskan tinju bayangan ke arah rahangnya, menghantamnya begitu keras hingga tubuh Guntur terpental ke belakang, menghantam tiang besi yang hampir roboh.
Suara dentuman itu menggetarkan lantai.
Namun Guntur tetap berusaha bangkit. Lututnya gemetar, tapi matanya masih membara.
Petir hitam menyala samar, seperti lilin yang nyaris padam tertiup angin.
Arno berjalan pelan, tubuhnya pun berat. Setiap langkah meninggalkan jejak darah di lantai yang retak.
Dia berdiri di hadapan Guntur yang setengah berlutut, lalu berkata pelan:
“Kekuatanmu luar biasa… tapi kau bodoh. Kau bakar habis semuanya terlalu cepat. Aku… cukup menunggu sampai kau habis sendiri.”
Lalu dengan satu pukulan terakhir-penuh bayangan pekat yang menghantam seperti palu godam-Arno menghantam kepala Guntur, membuat tubuh pemuda petir itu akhirnya tumbang, jatuh telentang di tengah reruntuhan.
Hening.
Hanya suara petir jauh di langit yang masih bergemuruh lirih, seperti menyesali kekalahan pemiliknya.
Arno terhuyung, nyaris jatuh, tapi ia paksa dirinya berdiri.
Darah mengucur dari pelipisnya, dadanya naik turun berat, tapi matanya masih menyala dalam bayangan pekat.
Dia menatap langit kelam, lalu berkata lirih… hampir seperti berbicara pada dua entitas purba yang diam-diam menyaksikan:
“Sudah selesai, untuk sekarang. Tapi aku tahu… bayangan dan petir ini belum selesai selamanya.”
Dan malam itu, di tengah reruntuhan kota yang hancur, hanya satu sosok yang masih berdiri.
Tubuhnya luka, jiwanya compang-camping, tapi kakinya tetap menapak bumi.
—
Bab: Hening Setelah Petir dan Bayangan
Angin berhenti. Waktu seolah berhenti berputar, hanya menyisakan napas berat Arno dan tubuh Guntur yang terkapar, nyaris tak bergerak.
Namun langit belum selesai.
Di atas reruntuhan, petir hitam terakhir turun, menghantam tubuh Guntur dengan gemuruh yang memecah malam.
Tubuh Guntur seketika diselimuti cahaya hitam dan kilat yang saling melilit seperti rantai kosmis yang menariknya ke suatu tempat yang tidak kasat mata.
Dalam sekejap, tubuh Guntur menghilang-bukan musnah, tapi terseret ke retakan dimensi lain, mungkin ke tempat asal kekuatan Petrawala, atau ke pusaran antara kehidupan dan kehampaan.
—
Dan dalam sekejap keheningan itu… suara mereka terdengar.
Svarnavarna berbisik dalam batin Arno, suaranya seperti kabut yang bergerak lambat:
“Lihat? Akhirnya bayangan menunggu sampai terang itu kelelahan sendiri. Kau tidak menang karena kekuatanmu, Arno. Kau menang karena kau tahu kapan harus diam.”
Ada nada sinis, tapi juga ketulusan pahit di sana.
Arno menunduk, darah menetes dari dagunya. Ia tahu, ada kebenaran dalam kata-kata itu, namun tak ada kebanggaan di sana.
—
Petrawala, di sisi lain, tertawa getir dalam batin Guntur yang hampir tak sadarkan diri:
“Kau jatuh bukan karena lemah, tapi karena kau terlalu keras mengejar kemenangan. Petir itu kuat, tapi hanya sebentar. Bangkitlah nanti, dan jangan ulangi kebodohan ini.”
Suara itu seperti guntur di kejauhan, masih ada, menunggu saat Guntur cukup kuat untuk mendengarnya lagi.
—
Sejenak, keduanya terdiam.
Seolah dua entitas kosmis itu saling menatap melalui batin murid-murid fana mereka.
Tak ada kata damai, tak ada kata perang.
Hanya jeda… sebelum pertarungan berikutnya di masa depan.
—
Dan Arno pun perlahan berbalik.
Bayangan-bayangan di sekitarnya berkumpul, membungkus tubuhnya perlahan seperti kabut pekat.
Dengan langkah tertatih, ia berjalan memasuki bayangannya sendiri.
Hingga akhirnya, sosoknya lenyap tanpa jejak, meninggalkan reruntuhan dan malam yang sunyi.
Hanya kilat redup jauh di cakrawala yang menjadi saksi.
Dan bayangan yang tetap diam menunggu…
Seperti biasa.
—
Bab: Api yang Menyulut Kemarahan
Kemarahan Guntur tidak muncul begitu saja.
Semua berawal dari api kecil yang dinyalakan dengan sengaja oleh tangan-tangan gelap.
Kelompok itu, yang selama ini bersembunyi di balik reruntuhan kota tua, telah merencanakan segalanya:
mereka membakar rumah Pakde Sastro,
mereka menyebarkan kabar palsu tentang colokan yang diperbaiki Guntur sore itu,
dan mereka meniupkan bisik-bisik ketakutan ke telinga warga yang mudah panik.
ketika rumah Pakde Sastro hangus dilahap api,
orang-orang mulai menunjuk tanpa tahu pasti siapa yang bersalah.
Dan mereka menunjuk ke arah yang paling mudah: Guntur.
Kelompok gelap itu tidak perlu muncul ke permukaan.
Cukup dengan mengadu warga dengan rasa takut mereka sendiri,
Guntur sudah berdiri sendiri menghadapi fitnah yang membakar jiwanya perlahan.
—
Mereka tahu:
Jika cukup banyak orang menuduh,
jika cukup banyak hati yang membenci,
maka luka batin Guntur akan membuka celah.
Dan dari celah itulah kekuatan gelap Petrawala perlahan menyusup,
mencari tempat untuk bangkit kembali melalui amarah Guntur.
Semua berjalan sesuai rencana mereka.
Tanpa harus mengotori tangan mereka sendiri,
mereka telah membuat satu jiwa rapuh menjadi alat kekacauan yang sempurna.